daun

Rabu, 17 Juni 2015

WISATA RELIGI DI ACEH


MENGUNJUNGI MAKAM ULAMA BESAR ACEH ABDUR RAUF AS-SINGKILI (SYIAH KUALA)



Asalamu’alaikum.....wr...wb
Pada kesempatan yang berbahagia pada hari minggu Tanggal 7 juni 2015 saya Suhaimi dan kawan-kawan lainnya seperti Masrullah, Ade putra dan Isnaini melakukan kunjungan ke salah satu makam ulama kharismatik di negeri serambi mekkah yaitu ke makam Abdur Rauf As-Singkili atau yang sering disebut Syiah Kuala.Nama lengkapnya beliau ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili ia dilahirkan di Singkil pada 1615 Masehi atau 1024 Hijriah. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.



Beliau  diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).

Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
  • Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
  • Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
  • Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
  • Mawa'iz al-Badî', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
  • Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
  • Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.
  • Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.
Tercatat pada era kepemimpinan Ratu, Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika pada zaman kepemimpinan  Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal.

Setelah banyak menyumbang peranannya bagi kemajuan ilmu pengetahuan di negeri serambi mekkah ini beliau Beliau pun Wafat pada usianya yang telah mencapai 105 tahun, peristiwa tersebut terjadi pada hari minggu malam di tahun 1696 yang silam, atau tepatnya pada tanggal 23 Syawal 1106 Hijriah jika di hitung berdasarkan tahun Islam di desa dayah raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh, untuk mengenang jasa beliau pakai lah nama beliau pada salah satu perguruan tinggi di aceh yaitu Universitas Syiah Kuala atau (Unsyiah).

Pada saat pertama kami melakukan kunjungan ke makam Abdur Rauf As-Singkili, kami langsung berinisiatif  bertemu dengan penjaga makam tersebut, untuk menanyakan hal-hal penting tentang sejarah Abdur Rauf As-Singkili secara detail dari narasumber terpercaya, akhirnya kami bertemu dengan penjaga makam syiah kuala tersebut namanya Abdul Wahed ternyata beliau selain penjaga makam tersebut, beliu juga sekaligus keturunan Syiah Kuala beliau sekarang generasi ke-7.



Pada saat itu kami di sambut dengan sambutan hangat oleh  pak Abdul Wahed selaku penjaga makam Syiah Kuala, setelah itu langsung mengatakan kepada beliau maksud dan tujuan kami datang dan mengunjungi makam Abdur Rauf As-Singkili ( Syiah Kuala). Dengan diawali Bismillahirrahmanirrahim kami langsung melakukan tanya jawab tentang Biografi Syiah Kuala, peranan beliau, dan karya-karya yang telah di hasilkan oleh ulama besar tersebut.
Dari  jawaban-jawaban yang dijabarkan begitu banyak dan meluas oleh pak Abdul Wahed inilah jawaban yang kami rasa penting dan perlu orang tau: bahwa  yang disekitaran makam tersebut. Yang disitu ada masjid, pesantren, dayah ternyata dulunya dibangun oleh Syiah Kuala tutur Abdul Wahed, setelah itu makam-makam kecil yang di samping makam Syiah Kuala dan yang diluar tersebut semuannya itu makam para keluarga Syiah Kuala sendiri.

Makam Syiah Kuala dan Sekeluarga yang ada di dalam


Makam keluarga Syiah Kuala yang ada di luar

Disini juga ada orang melepas nazarnya Sedangkan malam hari, aktivitas peziarah sering diisi zikir dan doa bersama oleh berbagai komunitas muslim. Aktivitas peziarah antara lain diisi shalat sunnah, berdoa dan berzikir di makam, bahkan ada yang mencuci muka dengan air sumur yang tersedia di dekat makam. Kendati tidak dibenarkan melakukan ritual yang bisa mengarah ke perbuatan syirik atau menduakan Allah. Hal itu biasanya berbentuk, mengambil batu atau tanah dengan harapan mendapat berkah dari benda tersebut.

Tempat para peziarah mencuci membasuh muka, yang diyakini ada khasiat tersendiri

Pada saat kami menanyakan tentang karya-karya atau kitab-kitab yang pernah Syiah Kuala tulis, ternyata sudah banyak yang hilang akibat diterjang tsunami tahun 2004 silam, kami juga mendengar peristiwa yang menakjubkan yang bahwa pada saat peristiwa stunami pada tahun 2004 silam, bangunan-bangunan yang ada di sekitaran makam beliau semua porak-poranda dan hampir rata dengan tanah tetapi dari sekian makam yang ada disitu cuma makam syiah kuala sendiri yang tidak rusak, terkena terjangan tsunami SUBHANNALLAH WALLAHUL’ALAM hanya Allah swt yang tau.

Dan Para peziarah yang datang pun tidak hanya berasal dari Daerah Aceh ataupun Provinsi lainnya di Negara Republik Indonesia ini, karena beberapa penduduk yang tinggal di Negara yang mayoritas penduduknya beragama islam juga datang untuk berziarah, antara lain adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Arab, Turki, Pakistan, dan beberapa Negara di Asia lainnya  Banyak para peziarah yang datang berkunjung ke situs Makam Syiah Kuala ini dengan tujuan mereka masing-masing yang tentunya memang berbeda-beda, misalnya saja para peziarah yang datang dari manca negara tersebut, mereka datang untuk berdoa dan berzikir di kawasan Makam Syiah Kuala tersebut. Ada juga yang datang hanya karena penasaran ingin melihat bentuk makamnya, karena mungkin selama ini hanya sekedar tahu dari cerita-cerita orang, kabar berita ataupun media massa. Dan, ada juga beberapa pengunjung yang datang untuk membayar nazar mereka, serta yang ingin membayar aqiqah.
Foto Kami Bersama Abdul Wahed penjaga makam Syiah Kuala
https://youtu.be/TYNsWSeA9M4

Di samping itu, Tips bagi para pengunjung yang mau kesini :
1.      Pakailah pakaian yang sopan dan menutup aurat anda jika berkunjung ke makam ini, dan jangan memakai pakaian ketat, karena jika anda memakai pakaian yang kurang pantas, maka tidak akan di ijinkan masuk ke pekarangan situs Makam Syiah kuala ini.
2.      Patuhilah setiap peraturan dan larangan apa saja yang telah tertera di gerbang masuk Makam Syiah Kuala ini, jangan sekali-kali melanggarnya jika tidak ingin diusir dan merasa malu.
3.      Jangan lupa untuk memberi sumbangan kepada pengurus masjid ini, karena mereka hanya hidup dari uang sumbangan masyarakat. Mereka tidak dapat honor meski bertahun-tahun menjaga makam. Ya, hitung-hitung sekalian anda beramal.

Sekian cerita dari kunjungan kami ke makam Abdur Rauf As-Singkili (Syiah Kuala) semoga menambah khazanah keislamam kita kami akhiri Wabillahitaufikwalhidayah Asalamu’alaikum.....wr....wb

Sumber : Wikipedia.or.id






Sabtu, 09 Mei 2015

Radio "RIMBA RAYA" (Peranannya Bagi Kemerdekaan Indonesia)


RADIO “RIMBA RAYA” (Peranannya Bagi kemerdekaan Indonesia)


Setelah Belanda melancarkan agresinya yang kedua, 19 Desember 1948, Radio Belanda Hilversum, Radio Belanda di Batavia dan di Medan mengumumkan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi, seluruh kota-kota utama telah direbut dan diduduki oleh pihak Belanda. Semua pemimpin Republik Indonesia telah di tawan.
Masyarakat internasional menilai bahwa apa yang di umumkan oleh Radio Belanda itu memang benar. Karena kota-kota besar  tempat kedudukan pemerintah Republik Indonesia seperti yogyakarta, Bukit Tinggi, dan P. Siantar ibukota provinsi sumatera telah diduduki Belanda. Sementara radio-radio yang ada di kota-kota itu telah “dibungkam” semua. Belanda menganggap Republik Indonesia tidak “berkutik” dan tidak dapat bersuara lagi untuk menyampaikan pesan-pesan kemerdekaan ke luar negeri.
Sungguh tidak disangka oleh Belanda, bahwa tiba-tiba muncul di udara Radio Rimba Raya, yang menggunakan signal calling Radio Divisi X, Radio Republik Indonesia, Suara Indonesia Merdeka, yang bekerja pada frequensi 19,25 dan 61 meter, yang mempunyai kekuatan pemancar 350 watt untuk siaran telegrafi, dan 300 watt telefoni segera menjawab: “Republik Indonesia masih ada. Ada daerah yaitu daerah Aceh. Masih ada pemerintah, yaitu Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang berkedudukan di sumatera. Ada tentara, yaitu Tentara Republik Indonesia, dan masih ada rakyat yaitu rakyat Indonesia”.
Disamping itu ada Salah seorang tentara Inggris (sekutu) Abdullah Inggris yang bernama asli Jhon Edward Berpangkat Letnan membelot kepihak RI, kemudian di beri nama Abdullah. Dia menjadi anggota penerangan Tentara Divisi X dan menjadi penyiar dalam bahasa Inggris pada Radio Rimba Raya. Kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten. Adakalanya dia menjadi Ajudan Komandan Divisi X Kolonel Husin Yusuf.
Radio Rimba Raya dapat melaksanakan tugas yang amat penting, yaitu memelihara komunikasi dengan pimpinan pusat gerilya di sekitar pedalaman yogyakarta dan surakarta. Waktu itu hanya ada tiga pemancar gerilya yang beroperasi secara terbuka, yaitu siaran Republik dari hutan-hutan di Surakarta. Siaran pemerintah darurat R.I. (PDRI) di wakili Sumatera Barat, 15 km dari Paya Kumbuh, Radio perjuangan Rimba Raya yang berlokasi di antara Bireun-Takengon (Aceh). Bantahan dan perlawanan yang dilakukan oleh Radio Rimba Raya, membuat Belanda semakin tersudut. Betapa tidak, pemancar Radio Rimba Raya begitu kuat siarannya dapat di dengar di berbagai negara Asia, Australia, dan beberapa negara Eropa Barat. Tiap malam Radio ini muncul di udara dalam 6 bahasa, yaitu Inggris, Belanda, Indonesia, Arab, Cina, dan Urdu.
Pemancar Radio Rimba Raya mempunyai kekuatan 350 watt uantuk siaran telegrafis dan 300 watt untuk telefoni. Berdiri di samping pemancar ini. Letnan. A. Wahid Lubis, sekarang Kolonel (Purn.) salah seorang teknisi Radio Rimba Raya.
Berdasasrkan fakta sejarah, Radio Rimba Raya ini paling banyak di monitor oleh “All India Radio” di New Delhi, tempat kedudukan kepala perwakilan Indonesia Sudarsono. Sementara itu, “Australia Broadcasting Corporation” juga tetap memonitor Radio Rimba Raya. Kedua pemancar ini selalu bertanya hal-hal yang tidak jelas. Melalui siaran Radio Rimba Raya yang didukung oleh pemancar-pemancar gerilya yang lain, masyarakat luar negeri dan dalam negeri mengetahui secara pasti tingkat perjuangan bangsa Indonesia pada waktu itu.
Bahwa pemimipin-pemimpin Republik Indonesia di tawan oleh Belanda sebagaimana disiarkan oleh Radio Belanda memang merupakan fakta sejarah. Begitu Belanda berhasil menduduki Yogyakarta, para pemimpin Indonesia Presiden Soekarno, Perdana Menteri Sutan Syahrir dan menteri luar negeri H. Agus Salim di tawan Belanda. Di Yogyakarta di terbangkan ke Jakarta, dari Jakarta ke Medan, kemudian di bawa ke Brastagi dan di tawan di sebuah pesanggerahan yang di kenal bernama Lau Kumba. Sedangkan Bung Hatta dan para pemimpin lainnya di terbangkan ke Bangka dan di tawan di sana.



RUMAH PESANGGERAHAN LAU KUMBA DULU

RUMAH PESANGGERAHAN LAU KUMBA SEKARANG


Ketika  Bung Karno, Sutan Syahrir, dan H. Agus Salim ditawan Belanda di Brastagi, ada suatu peristiwa sejarah yang begitu penting yang tidak pernah terungkap. Peristiwa itu adalah usaha Belanda hendak menyuap Bung Karno dengan uang Gulden satu peti, namun Bung Karno menolak. Setelah kegagalan itu, Bung Karno hendak di racun dengan menyuruh pelayan Bung Karno yang bernama Karno Sobiran untuk mencampur racun ke dalam makanan Bung Karno. Tetapi pelayan Bung Karno itu  menolak mentah-mentah, malah membentak perwira Belanda itu. Dia tidak peduli  terhadap resiko karena penolakan itu dia akan di tembak. Peristiwa sejarah ini di ungkap sendiri oleh Karno Sobiran mantan pelayan Bung Karno ketika di tawan di Pesanggerahan Lau Kumba. Kepada Muhammad TWH, Drs. Saiful Tanjung, dari Dinas Kebudayaaan dan Suharto MM dari Museum Negeri Banda Aceh. kami berkunjung ke rumah Karno Sobirsn tanggal 13 april 2001, di Jl. Kapten Muslim Gg. Sidomulyo, Medan pada saat itu, Karno Sobiran berumur 89 tahun, tetapi jalan pikirannya masih jernih, dan ingatannya masih sangat baik. Sebagai ilustrasi perlu kami ungkapkan peristiwa sejarah apa yang dilihat oleh Karno Sobiran sebagai berikut:
Kedatangan kami bertiga di sambut dengan wajah yang berseri-seri. Karno Sobiran membuka pembicaraan apa yang ingin kami ketahui
Dengan kata-kata yang terang dan teratur, Karno Sobiran mengatakan: “hari itu tanggal 22 Desember 1948, iring-iringan mobil masuk ke pekarangan pesanggerahan Lau Kumba. Bung Karno keluar dari salah satu mobil yang kapnya tertutup. Karno Sobiran menyongsong Bung Karno dengan membawa tas masuk ke kamar no.1 yang ada kamar mandinya di dalam. Sedangkan kamar no. 2 ditempati oleh perdana Menteri St. Syahrir dan H. Agus Salim.
Ketika Karno Sobiran memijit-mijit Bung Karno, Bung Karno berkata: “ kau tahu No, kita bisa merdeka berkat Rahmat Allah, kalau kita pikir mana bisa kita merdeka, lawan kita senjatanya lengkap, sedangkan kita hanya dengan bambu runcing. Berbagai kesulitan yang kita alami di masa lalu jangan kita ingat-ingat lagi, yang penting sekarang kita atur perjuangan ini sehingga kita bisa mencapai kemenangan.
Mengenai jalan cerita Bung Karno hendak di suap dengan uang Golden satu peti. Karno Sobiran menguraikan sebagai berikut:
Seminggu setelah Bung Karno di Pesanggerahan Lau Kumba Brastagi datanglah 8 orang pembesar Belanda. Kelihatan yang datang itu orang-orang berpangkat. Dua orang di antaranya berseragam putih. Kursi-kursi di ruang makan disuruh geser semua, Karno Sobiran sungguh tidak mengerti apa maksud orang-orang Belanda itu. Setelah ruangan kosong, dua orang membawa masuk satu peti lagi juga di bawa oleh perwira Belanda.
Tidak lama kemudian menyusul masuk 8 orang Belanda dan berdiri megelilingi dua peti itu. Ketika dua peti itu di buka alangkah terkejutnya karno.
Sobiran yang berdiri di pintu melihat satu peti penuh dengan uang Gulden Belanda yang masih baru, tetapi tidak sempat di perhatikan tukaran berapa, sedangkan satu peti lagi penuh dengan pakaian mewah yang harganya tentu amat mahal. Tetapi Karno Sobiran tidak mengetahui berapa pasang.
Setelah persiapan itu dilakukan, kemudian Bung Karno dipanggil dari kamarnya. Begitu keluar Bung Karno melihat pembesar-pembesar Belanda itu berdiri mengelilingi peti yang penuh berisi uang dan peti yang penuh berisi pakaian mewah. Bung karno berdiri dengan tenang dengan muka tidak enak. Tidak lama kemudian seorang pembesar Belanda yang berdiri dekat Bung Karno menyodorkan satu surat yang telah dipersiapkan dan pulpen kepada Bung Karno agar menandatangani surat itu. Bung Karno membaca surat itu dengan wajah yang telah berubah. Kemudian Bung Karno mengatakan dalam Bahasa Belanda yang artinya: “saya Bapak rakyat, saya akan tanya terlebih dahulu kepada rakyat. Kalau rakyat setuju, saya akan tanda tangani surat ini”.
Dengan muka masam Bung Karno meninggalkan Belanda-Belanda itu dan dia kembali ke kamarnya. Bung Karno tidak pernah mengatakan isi surat yang di suruh tanda tangani oleh Belanda, tetapi dalam situasi perang kemerdekaan surat itu adalah surat “menyerah kepada Belanda” atau “surat pembatalan prokalmasi kemerdekaan”.
Sikap tegas Bung Karno itu oleh orang-orang Belanda itu dianggap seperti “halilintar di siang bolong”. Belanda tidak menyangka bahwa uang Gulden yang begitu banyak tidak dapat mempengaruhi Bung Karno. Padahal petingggi-petinggi Belanda itu menjanjikan, begitu surat yang disodorkan itu ditandatangani Bung Karno akan di terbangkan ke negeri Belanda. Ketika Bung Karno hendak di suap, Sutan Syahrir dan H. Agus salim tidak melihat peristiwa itu karena kedua pemimpin Republik ini berada di dalam kamarnya.
Tiga pemimpin RI yang pernah di tawan Belanda pesanggerahan Lau Kumba Brastagi selama 12 hari. Kiri: Bung Karno, Sutan Syahrir, H.Agus salim dan perwira Belanda yang mengawalnya.

Petinggi-petinggi Belanda itu hanya 2 jam berada di Pesanggerahan itu, kemudian mereka kembali ke Medan dengan membawa kembali uang dan pakaian yang mewah yang ditolak mentah-mentah oleh Bung Karno. Semingggu kemudian datang lagi pembesar—pembesar Belanda hendak membujuk Bung Karno agar mau menandatangani surat yang di sediakan itu, tetapi bung karno tetap menolak.
Rupanya penolakan Bung Karno itu merupakan pukulan berat bagi Belanda. Hal ini telah mendorong mereka untuk membunuh Bung Karno dengan racun. Bebarapa hari setelah penolakan yang kedua kalinya, seorang perwira Belanda mencegat Karno Sobiran ketika sedang melangkah membawa makanan bung karno, ke kamarnya. Perwira Belanda itu menyerahkan satu botol kecil yang berisi racun dan disuruh untuk mencampur ke dalam makanan Bung Karno.
Karno Sobiran menolak dengan tegas dan mangatakan: “Gila kau, kalau kau sendiri menghadapi dia,seperti tikus disiram minyak”. Karno Sobiran waktu itu tidak peduli bahwa dia akan di tembak Belanda karena menolak mencampur racun kedalam makanan Bung Karno. Dengan kejadian ini, maka untuk kedua kalinya Belanda gagal, gagal menyuap dan gagal hendak meracuni Bung karno”.
Rupanya pengumuman Belanda bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi, diselaraskan dengan rencana menyogok Bung Karno dengan uang  yang begitu banyak. Satu peti uang Golden bukan sedikit. Belanda rupanya merasa yakin Bung Karno akan dapat “ditundukkan” dengan jumlah uang dan pakaian mewah dan dijanjikan akan di terbangkan dan menetap di negeri Belanda. Rupanaya maksud tersebut meleset. Republik Indonesia tidaka mau menyerah kepada Belanda dan tidak mau proklamasi kemerdekaan itu di batalkan.
Kalau Radio Rimba Raya menjawab bahwa Republik Indonesia masih ada, masih ada daerah, yaitu daerah Aceh, masih ada pemerintah, yaitu pemerintah darurat Republik Indonesia, masih ada Tentara Nasional Indonesia dan masih ada rakyat yaitu rakyat Indonesia. Disini jelaslah bahwa jawaban Radio Rimba Raya senada dengan sikap Bung Karno yang tidak mau menandatangani surat “menyerah” kepada Belanda, atau “membatalkan” proklamasi.
Sedangkan siaran Radio Hilversum   di negeri Belanda yang menyatakan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi, karena Belanda merasa sudah pasti, dengan jalan menyogok Bung Karno, maka persoalan selesai semuanya, ternyata meleset. Belanda mencoba menempuh jalan pintas untuk membunuh Bung Karno dengan racun, juga mengalami kegagalan. Setelah itu Bung Karno, St. Syahrir dan H. Agus Salim di pindah ke Parapat.
Bahwa Bung Karno hendak di racun, memang pernah tersiar luas di Aceh di masa perang kemerdekaan, tetapi warna berita yang berpindah dari mulut ke mulut berubah. Berita yang berkembang ketika itu di Aceh adalah:  ketika Bung Karno di tawan di Parapat hendak di racun dengan roti sarapan pagi, seorang pelayan mengatakan kepada Bung Karno, “jangan makan roti itu pak, karena dalam roti itu ada racun. Ketika roti itu di buang dan di makan oleh anjing, ternyata anjing itu mati. Rupanya meracuni Bung Karno bukan di Parapat tetapi di Brastagi.
Barulah tahun 2001 “jelas” duduk persoalan sebenarnya mengenai usaha untuk meracun Bung Karno. Berdasarkan keterangan pelaku sejarah yaitu mantan pelayan Bung Karno Karno Sobiran. Karno Sobiran ini sangat di hargai oleh Bung Karno. Dia pernah di tawarkan bekerja di Istana Bogor, tetapi isterinya menolak dengan alasan tak sangup menyesuaikan diri, kemudian di pekerjakan di Gubernuran Medan, hinggga pensiun.
Abdullah arief adalah kepala studio Radio Rimba Raya yang berlokasi di rongga-rongga sekaligus bertindak sebagai penyiar dalam bahasa Arab. Sedangkan T.A. Talsya adalah wartawan Radio Rimba Raya yang gigih dan berani di front medan area.

FOTO ABDULLAH ARIEF DAN T.A. TALSYA

Anak-anak dari Bung Karno  juga menghargai Karno Sobiran. Setelah tersiar secara luas peranan Karno Sobiran, maka keluarga Bung Karno dalam tahun 2002 menyumbang uang RP.25.000.000,- dan digunakan untuk membangun rumah anaknya yang ditinggalkan. Karno Sobiran meninggal dunia pada tahun 2002 dalam usia 90 tahun, setahun setelah dia mengungkapkan peristiwa sejarah kegagalan Belanda menyuap dan meracun Bung Karno.
Hari minggu tanggal 19 desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer kedua terhadap RI. Ibukota negara Yogyakarta di duduki, Soekarno-Hatta dan sejumlah menteri di tahan, kecuali Jenderal Soedirman hijrah ke pedalaman untuk memimpin perang gerilya bersama rakyat pejuang. Juga seluruh Ibu kota Provinsi dan Kabupaten hari itu di kuasai oleh serdadu Belanda, kecuali Aceh, satu-satunya wilayah RI yang masih utuh Republik. Di samping itu, seluruh siaran Nasional RRI mulai dari ibukota negara Yogykarta sampai Provinsi dan Kabupaten hilang dari udara, vakum karena di bungkam oleh Belanda
Sekitar tiga pekan sejak agresi militer II (tanggal 19 Desember 1948 s.d 12 januari 1949) angkasa Indonesia tanpa siaran Nasional RRI, tanpa komunikasi, tanpa informasi. Semua pihak sedang menata RRI yang masih berfungsi adalah di Aceh, dimana Radio perjuangan Rimba Raya di Takengon, Aceh Tengah mampu mengkoter siaran Radio Belanda di Batavia dan Hilversum di Leiden, yang manyatakan RI sudah tumbang.
Belanda sangat terkejut mendengar siaran Radio perjuangan dari daerah Aceh, yang membatah berita bohong yang di siarkan Radio Belanda. Bantahan ini disiarkan secara luas kedalam dan keluar negeri, sehingga sampai di Dewan Keamanan PBB. Dengan di plomasi para diplomat RI di PBB dan forum Internasional berhasil menggiring Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan tembak-menembak atau genjatan senjata di Indonesia, dan menyelesaikan konflik antara Indonesia-Belanda kemudian di lakukan lewat perundingan.
Radio Rimba Raya ini juga berhasil menangkap siaran Radio gerilya di Wonosari, Jawa Tengah dan menyebarkannya ke PDRI di Bukit Tingi dan perwakilan RI di luar negeri melalui dubes Dr. Sudarsono di India dan sebaliknya. “selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar Radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaraja. Maksudnya Radio perjuangan “Rimba Raya” Aceh Tengah”. Demikian tulis Jenderal T.B. Simantupang dalam bukunya “laporan dari banaran”, penerbit PT pembangunan, Jakarta, 1959.
Fungsi yang strategis dari Radio perjuanan Rimba Raya” menyebabkan ia dijuluki sebagai “jubir” (juru biara) Republik di zama revolusi. Beberapa kali pemancar “Rimba Raya” ini di serang dan di bom  oleh pesawat terbang Belanda untuk di hancurkan, tapi dapat di selamtkan oleh keliaian para petugasnya yang cerdik dengan membuat kamuflase atau memindahkan lokasinya secara gesit sewaktu- waktu.
Di samping itu ada KAPTEN A.G. MUTYARA Kepala penerangan tentara divisi X berkedudukan di Kutaraja (Banda Aceh) yang membawa Radio Rimba Raya, sebagai sarana komunikasi di masa perjuangan kemerdekaan.

SUMBER : Abidin hasyim dan kawan-kawan. Aceh daerah modal (Pemerintah Aceh) 2009

Di poskan oleh:
Nama               : SUHAIMI
Jurusan            : SKI (Sejarah dan Kebudayaan Islam)
Kampus           : UIN AR-RANIRY, Banda Aceh
Asal                 : ABDYA

Kamis, 07 Mei 2015

BIOGRAFI TEUNGKU FAKINAH

BIOGRAFI TEUNGKU FAKINAH


Tengku Fakinah adalah anak teungku datuk atau dikenal juga dengan nama tengku Asahan dari kampung Lam Beunot (Lam Taleuk) mukim Lam Kerak VII mukim Bae’t, segi XII Aceh Besar. Fakinah lahir diperkirakan pada tahun 1856 di sebuah desa yang bernama la diran, kira-kira 15 km dari kota Banda Aceh. Fakinah semenjak kecil telah dididik dengan sungguh-sungguh oleh orang tuannya dengan ilmu agama seperti mengaji dan ilmu keterampilan seperti menjahit dan membuat kerawang sutera dan keterampilan-keterampilan lainnya.
 Setelah remaja Fakinah tumbuh menjadi seorang gadis yang alim dan terampil, oleh karena itu ia di pangggil Teungku Fakinah . sesudah dewasa, pada tahun 1872 Tengku Fakinah menikah dengan Teungku Ahmad atau dikenal dengan nama Tengku Aneuk Glee. Tengku Aneuk Glee ini membuka pesantren yang dibiayai oleh mertuannya orangtua dari Teungku Fakinah. Tengku asahan atas dukungan masyarakat kampung Lam Beunot dan imam mukim Lam Kerak. Pesantren ini banyak dikunjungi banyak pemuda dan pemudi dari kampung lain di sekitar Aceh Besar, bahkan ada pula yang datang dari lam Cumbok (Pidie) sebab masyarakat lam cumbok banyak juga yang berasal dari mukim Lam Kerak. Teungku Fakinah di samping suaminya Tengku Aneuk Glee turut mengajar pula di pesantren ini. Tengku Aneuk Glee memberi memberi pengajaran untuk para santri putra sedangkan Teungku Fakinah memberi pelajaran  keterampilan seperti menjahit dan membuat karawang untuk para santri putri. Ketika pesantren itu mulai maju datanglah Belanda atau kalau orang Aceh bilang kaphe (kafir) untuk menyerang Aceh dalam expedisi I. Tengku Imam Lam Kerak serta Tengku Aneuk Glee terlibat dalam mempertahankan pantai cermin tepi laut ULE LEE yang di pimpim oleh Panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia. Dalam peperangan tersebut gugurlah banyak pahlawan Aceh, antara lain panglima besar Rama Setia, Imam Lam Kerak dan Teungku Aneuk Glee suami Tengku Fakinah. Pada tanggal 8 shafar 1290 H (8 april 1873). Semenjak itu Teungku Fakinah menjadi janda yang masih remaja. Teungku Fakinah tidak memperoleh keturunan dari perkawinannya dengan Teungku Aneuk Glee.
Semenjak itu pula Teungku Fakinah membentuk badan amal sosial untuk membantu perjuangan rakyat aceh untuk mengusir kaum penjajah. Badan amal sosial itu anggotanya terdiri dari para janda perang dan wanita lainnya. Badan itu mendapat dukungan dari seluruh kaum muslimat Aceh Besar bahkan menjalar sampai ke Pidie (Padang Tiji, Rabee, Batee dan Cumbok). Anggota badan amal ini menjadi amat giat dalam mengumpulkan sumbangan rakyat yang berupa perbekalan makanan, uang, dan harta benda lainnya. Selain dari anggota bergerak mengumpulkan perbekalan peperangan ada juga yang tinggal di tempatnya sibuk bekerja mempersiapkan sajian atau makanan bagi orang yang datang dari luar. Seperti dari Pidie, Meureudu, Samalanga, Peusangan dan lain-lain untuk membantu perang dan menuangkan timah/peluru senapan atau bedil. Semua pekerjaan itu di bawah koordinasi panglima Teungku Fakinah.
Panglima Fakinah tidak tinggal di tempatnya tetapi ia giat sekali hilir mudik ke seluruh segitiga aceh besar menjalankan diplomasi, mendatangi rumah tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang kaya meminta zakat dan sabillillah untuk membantu perjuangan rakyat aceh berperang melawan dan mengusir penjajah dari tanah air. Tengku fakinah memperoleh sukses besar dalam kegiatannya itu, ia telah banyak berkenalan baik dengan Poe Cut Lam Gugup isteri Tuanku Hansyim. Cut Nyak Meuligoe istri Teungku Cut Tungkop, Cut Lam Reueng, istri Teuku Cut Lam Kapang dan lain-lain.
Setelah banyak menyumbang tenaga dan fikiran untuk bumi serambi mekkah ini, dalam bulan puasa pada tanggal 8 ramadhan 1359 bertepatan dengan tanggal 3 oktober 1938 ulama dan pahlawan Aceh Teungku Fakinah meningggal dunia. Beliau di makamkan dalam kompek Dayah Lamdiran, di mana telah terlebih dahulu di makamkan teman-teman seperjuangannya, seperti Habib Kabul dan teman seperjuangan lainnya.
Untuk mengenang jasa Teungku Fakinah di buatlah nama Beliau di salah satu rumah sakit umun di Lamteumen, Aceh Besar.



Sumber : Farid Wajdi Ibrahim. Aceh Bumi Srikandi. (Pemerintah NAD) 2008

ANATOMI RENCONG ACEH





ANATOMI RENCONG ATJEH


Rencong pada umumnya di buat oleh pandai besi melalui suatu Rencong merupakan senjata tradisional yang sangat populer di kalangan  masyarakat Aceh. Bahan pembuatannya : terdiri dari besi, kuningan untuk mata pisaunya, tanduk, kayu, gading gajah, dan emas untuk gagang atau hulu rencong. Kayu pilihan dari bak panah dan bak asam me (dari pohon nangka dan pohon asam) untuk sarung rencong. Untuk sarung ini ada juga dari tanduk kerbau, sapi serta juga dari gading gajah proses penempaan terhadap besi terlebih dahulu. Jadi sama dengan proses pembuatan pisau. Tentu saja pada mulanya alat-alat pemotong yang praktis untuk rumah tangga yaitu yang di sebut sikin (pisau) yang pada umumnya berbentuk kasar kemudian seara perlahan-lahan mencapai kesempurnaan. Jadi, pada mulanya rencong berasal dari pisau yang digunakan secara praktis kemudian dikembangkan untuk penggunaannya yang bersifat magis religius setelah di bentuk sedemikian rupa sehinnga menjadi senjata pamungkas orang aceh dalam melawan musuh kaphe sebutan orang aceh untuk kafir.



Rencong di buat oleh pande beuso (pandai besi) yang ahli dibidangnya. Selain mempunyai keahlian menciptakan bentuk yang indah, pande beuso ini  juga harus dapat menciptakan bentuk yang dapat membahayakan musuh kalau digunakan untuk menikam/menyerang. Dalam pembuatan rencong terkandung pula ajaran islam sebagai agama yang di anut oleh masyarakat aceh islam yang mana agama ini amat berpengaruh dalam kehidupan sosial budaya aceh sendirinya.
Kalau kita lihat secara fisik rencong nampak bahwa rencong terdiri dari beberapa bagian. Bermula dari gagang rencong yang melekuk dan keemudian menebal pada bagian sekinya merupakan aksra huruf/Ba (ب) . Bujuran gagangnya itu sebagai tempat genggaman juga merupakan atau menyerupai aksara/huruf Arab lainnya yaitu Sin (س). Selanjutnya bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat gagangnya juga dibentuk menyerupai aksara huruf/Nun (ن). Demikian pula dengan lajur-lajur besi mulai dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan aksara huruf/Lam (ل). Ujung-ujung yang runcing dari sebuah rencong dengan datar pada bagian atasnya dan dengan sedikit melekuk ke atas pada bagian bawahnya juga merupakan huruf/aksara Ha (ح). Dengan demikian, secara keseluruhan rangkaian dari aksara/huruf Ba, Min, Lam, dan Ha tersebut mewujudkan sebuah kata arab atau ayat dari kitab suci orang islam yaitu AL-QURAN, BISMILLAH ( بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ ) , dalam bentuk senjata tajam sebagai alat untuk melawan musuh agama kaphe atau orang-orang anti islam.



SUMBER :
Ø  Rudi Sufi dan Kawan-Kawan. senjata tradisional provinsi aceh. (Banda Aceh : Bagian Proyek IDKD,  Dirjen Kebudayaan, departemen P dan K) 1989
Ø  T. Syamsyuddin dan M.nur Abbas. Reuncong. (Banda Aceh : Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh) 1981