daun

Rabu, 02 Maret 2016

ASAL-USUL NAMA DAERAH “MEULABOH”


Pada masa Saidil Mukamil menjadi Sultan Aceh (1588-1644) dibangun sebuah Negeri (Nanggroe) disebuah teluk di Pantai Barat Aceh bernama Pasir karam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda negeri ini sangat berkembang dan maju. Banyak berdatangan orang-orang dari Aceh besar, Pidie dan Minagkabau ke daerah ini dan membuka kebun lada (Seuneubok Lada). Orang-orang Minang yang tiba di Pasir Karam mengatakan ketika samapi disitu “disinilah kita berlabuh” yang kemungkinan dari istilah inilah lahir kata “Meulaboh” atau berlabuh.

Rombongan yang datang dari Minangkabau dipimpin oleh tiga orang yaitu: (1). Makhudum Sati, yang berasal dari Rao, Sumatera Barat. Yang kemudian membangun perkebunan lada dan menetap di Meureubo; (2). Datuk Raja Agam dari Agam, Sumatera Barat. Yang tinggal di Rantau Panyang; dan (3). Datuk Songsong Buluh tinggal di Ujung Kala.

Ketiga Negeri yang di tempati oleh pendatang dari Minang tersebut cepat majunya sehingga banyak memperoleh hasil, malahan mereka sudah dapat mengumpulkan emas. Ketiga tokoh ini bersepakat menemui sultan Aceh dan mereka membawa emas sebagai buah tangan. Mereka meminta pengukuhan dari Sultan Aceh terhadap tempat yang mereka diami, dan meminta tiga orang wakil Sultan kesana untuk mengurus: (1). Pengaturan pemerintah dan mengumpulkan upeti; (2). Mengurus perselisihan dan pelanggaran adat; dan (3). Mengurus penyelenggaraan Agama, seperti Nikah, Talak, Rujuk dan Warisan.

Sultan membuat “sarakata” menggunakan Cap Sembilan (Cap Sikureung) yang merupakan surat keputusan tentang kedudukan mereka. Sultan juga menetapakan Datuk Songsong Buluh menjadi koordinator ketiga pemukiman tersebut sebagai Ulebalang Meulaboh. Pada masa Sultan Ibrahim Mansur Syah (1841-1879) Negeri-negeri di pantai Barat Aceh bertambah maju. Akibat perang Padri semakin banyak pula orang dari Sumatera Barat hijrah kesana. Lebih-lebih lagi Minangkabau yang telah dikuasai oleh Belanda mengeluarkan Oktrui dan Kultur Stelsel yang menetapkan penduduk harus menjual hasil bumi meraka hanya kepada Belanda. Selain Belanda yang berdagang di pantai Barat Aceh, juga ikut Inggris yang pusat kegiatannya di Penang, Malaysia.

Pada masa itu sesuai dengan tuntunan keadaan dibentuk Pemerintah seperti  di Pidie yaitu Federasi Negeri-negeri sebnayak 16 buah. Timbulnya Kaway XVI dari: Meulaboh, Ujungkala, Seunagan, Tripa, Woyla, Peureumbeu, Gunong Meuh, Rantau Panyang, Meureubo, Reudeup, Bubon, Mugoh, Tadu, Gomeh, dan Seuneu’am.   






Referensi:
H.M. Thamrin Z, Edy Mulyana, Pantai Barat Aceh di Panggung Sejarah, Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2009. hal 35


ASAL-USUL NAMA DAERAH “BLANGPIDIE”


Blangpidie yang sekarang menjadi salah satu kota, yang terletak di kabupaten Abdya. Dulunya banyak ditempati oleh orang-orang yang berasal dari suku batak dan gayo, kemudian datang orang dari Aceh besar, Pidie dan Minangkabau. Rombongan yang datang dari Lhong dipimpin oleh seorang Teungku terkenal dengan nama Teungku Dilung  dan rombongan dari Pidie dipimpin oleh T.Bin Agam. Mereka membuat Sawah (Blang) sejak itu daerah tersebut dianamakan Blangpidie. Sebagai wilayah dengan banyak pemukiman para pendatang, sering timbul perselisihan lokal yang masih dapat diatasi oleh Sultan Ibrahim Mansur Syah yang memerintah (1836 – 1870).

T.Ben Agam digantikan oleh putranya T.Bin Abas dan selajutnya T. Bin Abas diganti pula oleh putranya T. Bin Mahmud yang bergelar T. Bin Mahmud Setia Raja yang mengobarkan perang melawan Belanda sampai 1908. Pada tahun 1900 Belanda memasuki kota blangpidie dan membangun tangsi disitu. Orang-orang cina juga mulai berdatangan. Sejak itu kota Blangpidie bertambah maju dan menjadi pusat perdagangan untuk wilayah sekitarnya. Barang-barang yang dijual oleh orang cina sangat diperlukan oleh Tentara Belanda dan rakyat. Negeri ini bertambah maju lagi setelah dibuat jalan dari Kutaraja ke Tapaktuan. Setiap pedagang yang melintasi jalur tersebut mau tidak mau harus singgah di Balngpidie. Karena perkembangannya begitu maju sehingga sekarang Blangpidie menjadi ibu kota kabupaten Aceh Barat Daya atau sering disebut dengan singkatan Abdya, yang telah terjadi pemekaran atau lepas dari Kabupaten Aceh Selatan.   



Referensi:
H.M. Thamrin Z, Edy Mulyana, Pantai Barat Aceh di Panggung Sejarah, Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2009. hal 37