Pada masa Saidil Mukamil menjadi Sultan Aceh (1588-1644)
dibangun sebuah Negeri (Nanggroe) disebuah teluk di Pantai Barat Aceh bernama Pasir
karam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda negeri ini sangat
berkembang dan maju. Banyak berdatangan orang-orang dari Aceh besar, Pidie
dan Minagkabau ke daerah ini dan membuka kebun lada (Seuneubok Lada).
Orang-orang Minang yang tiba di Pasir Karam mengatakan ketika samapi disitu “disinilah
kita berlabuh” yang kemungkinan dari istilah inilah lahir kata “Meulaboh”
atau berlabuh.
Rombongan yang datang dari Minangkabau dipimpin oleh tiga
orang yaitu: (1). Makhudum Sati, yang berasal dari Rao, Sumatera Barat.
Yang kemudian membangun perkebunan lada dan menetap di Meureubo; (2). Datuk
Raja Agam dari Agam, Sumatera Barat. Yang tinggal di Rantau Panyang; dan
(3). Datuk Songsong Buluh tinggal di Ujung Kala.
Ketiga Negeri yang di tempati oleh pendatang dari Minang tersebut
cepat majunya sehingga banyak memperoleh hasil, malahan mereka sudah dapat
mengumpulkan emas. Ketiga tokoh ini bersepakat menemui sultan Aceh dan mereka
membawa emas sebagai buah tangan. Mereka meminta pengukuhan dari Sultan Aceh
terhadap tempat yang mereka diami, dan meminta tiga orang wakil Sultan kesana
untuk mengurus: (1). Pengaturan pemerintah dan mengumpulkan upeti; (2).
Mengurus perselisihan dan pelanggaran adat; dan (3). Mengurus penyelenggaraan
Agama, seperti Nikah, Talak, Rujuk dan Warisan.
Sultan membuat “sarakata” menggunakan Cap Sembilan (Cap
Sikureung) yang merupakan surat keputusan tentang kedudukan mereka. Sultan
juga menetapakan Datuk Songsong Buluh menjadi koordinator ketiga pemukiman
tersebut sebagai Ulebalang Meulaboh. Pada masa Sultan Ibrahim Mansur Syah
(1841-1879) Negeri-negeri di pantai Barat Aceh bertambah maju. Akibat
perang Padri semakin banyak pula orang dari Sumatera Barat hijrah kesana.
Lebih-lebih lagi Minangkabau yang telah dikuasai oleh Belanda mengeluarkan Oktrui
dan Kultur Stelsel yang menetapkan penduduk harus menjual hasil bumi meraka
hanya kepada Belanda. Selain Belanda yang berdagang di pantai Barat Aceh, juga
ikut Inggris yang pusat kegiatannya di Penang, Malaysia.
Pada masa itu sesuai dengan tuntunan keadaan dibentuk Pemerintah
seperti di Pidie yaitu Federasi
Negeri-negeri sebnayak 16 buah. Timbulnya Kaway XVI dari: Meulaboh,
Ujungkala, Seunagan, Tripa, Woyla, Peureumbeu, Gunong Meuh, Rantau Panyang,
Meureubo, Reudeup, Bubon, Mugoh, Tadu, Gomeh, dan Seuneu’am.
Referensi:
H.M. Thamrin Z, Edy Mulyana, Pantai Barat Aceh di Panggung Sejarah,
Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2009. hal 35