daun

Selasa, 12 Juli 2016

Adat Istiadat Perkawinan Masyarakat Aceh



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Daerah Aceh merupakan salah satu kawasan yang terdiri dari beberapa etnis, yaitu Aceh, Kluet, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Singkil, Simeulu, dan Tamiang. Setiap etnis memiliki adat istiadat yang berbeda, dan ini merupakan sebuah keistimewaan dan bagian dari kebudayaan Indonesia yang wajib dijaga. Salah satu acara adat dan tradisi budaya Aceh yang sangat dianggap sakral adalah upacara pernikahan.
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat sakral di dalam tradisi budaya Aceh karena hal ini berhubungan dengan nilai keagamaan. Pernikahan memiliki perayaan tersendiri yang sangat dihormati oleh masyarakat. Tahap upacara pernikahan di Aceh dimulai dari tahap pemilihan jodoh, pertunangan hingga upacara pernikahan.
 Adat pernikahan Aceh merupakah salah satu prosesi pernikahan yang ada di Indonesia. Di Adat Pernikahan Aceh, proses melamar seorang gadis akan dilakukan oleh seorang yang dianggap bijak oleh pihak keluarga lelaki, biasanya disebut seulangke (perantara). seulangke akan menyelidiki status gadis tersebut, jika memang masih sendiri (belum menikah), seulangke akan mencoba untuk melamar gadis tersebut.
Pada acara lamaran adat pernikahan aceh yang telah ditentukan harinya, biasanya dari pihak lelaki akan datang bersama dengan orang yang dituakan ke rumah gadis dengan membawa berbagai macam syarat seperti pineung reuk, gambe, gapu, cengkih, pisang raha, dan pakaian adat aceh. Setelah proses lamaran selesai, selanjutnya pihak wanita akan meminta waktu untuk membicarakan hal lamaran ini kepada anak gadisnya. Apakah akan diterima atau tidak lamaran pihak lelaki akan tergantung dari musyawarah keluarga pihak wanita. Selanjutnya bila lamaran dari pihak lelaki di terima, maka akan ada beberapa prosesi yang harus dilakukan sebelum menuju acara pernikahan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang adat pernikahan masyarakat Aceh, penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul “Adat Istiadat Perkawinan Masyarakat Aceh”.


B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat di identifikasi rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah Bentuk pernikahan masyarakat Aceh?.
2.    Bagaimanakah adat pernikahan masyarakat Aceh?.

C.    Tujuan & Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka pembuatan makalah ini bertujuan untuk sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui bentuk pernikahan masyarakat Aceh.
2.    Untuk mengetahui adat pernikahan masyarakat Aceh.
Manfaat dari penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.      Sebagai media untuk menambah ilmu dan pengetahuan bagi para pembaca
2.      Sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya agar dapat melengkapi kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.

          

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Adat  Istiadat Perkawinan Masyarakat Aceh


Perkawinan adalah salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Dalam masyarakat Aceh upacara perkawinan di lakukan secara adat. Ada acara yang perkawinan di lakukan dengan upacara adat yang lengkap dan ada yang hanya sebagian saja, menurut kemampuan financial masing-masing.
Adat perkawinan dalam masyarakat Aceh terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap sebelum, selama dan sesudah upacara perkawinan. Adat sebelum acara perkawinan, adalah pertunangan. Dalam acara pertunangan itu sendiri terdapat kegiatan: Cah Rhot, Meulake, atau Peukong Haba. Adat selama upacara perkawinan biasanya adalah: Meugatib (menikah) dan Intat Linto (mengantar pengantin laki-laki ke tempat kediaman pengantin perempuan). Sedangkan yang termasuk dalam adat sesudah perkawinan adalah: Tueng Dara Baro (menjemput pengantin perempuan) dan Jak Meuturi (berkunjung untuk berkenalan dengan sanak famili).
Jadi yang dimaksud dengan upacara adat perkawinan disini mencakup ketiga tahap itu, yang puncaknya adalah atau hari “HA” nya adalah pada upacara menikah (gatib) dan mengantar pengantin laki-laki (intat linto) ke rumah dara baro, yang biasanya dengan mengadakan khanduri atau pesta perkawinan.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa adat kebiasaan tersebut yang pada umumnya merujuk kepada adat perkawinan yang terdapat di daerah-daerah pesisir Aceh:

a.      Adat Cah Rhot (Merintis Jalan)
Pada masa lampau, seorang pemuda yang sudah ingin berumah tangga atau kawin tidak secara langsung mengatakannya kepada orangtuanya, tetapi biasanya dengan tanda-tanda yang dibuatnya. Di daerah Aceh Utara misalnya melakukan tek-tek aneuk reunyen (memukul-mukul anak tangga rumah dengan parang) untuk memberi isyarat kepada orangtuanya tentang keinginanya itu. Ini disebabkan karena biasanya yang mencari jodoh itu ialah orang tua, malah siapa yang menjadi jodohnya seringkali tidak diketahui atau tidak pernah berjumpa sampai dengan waktu akan dilangsungkan perkawinan. Namun itu tidak berarti bahwa pada masa lampau, seorang pemuda tidak boleh mencari sendiri calon istrinya. Pada masa lampau, tidak ada pergaulan muda-mudi dimana, mereka saling mencari jodoh masing-masing seperti yang sudah lazim terjadi pada zaman sekarang.
Dalam masyarakat Aceh, yang mencari calon istri adalah pihak si pemuda, dan bila pihak si perempuan yang mencari calon suami untuk anaknya, hal ini menjadi suatu aib. Ungkapan narit maja yang berbunyi: “ Kon Mon Mita Tima” artinya bukan sumur mencari timba (bukan perempuan mencari laki-laki), tetapi “Tima Mita Mon” artinya timba mencari sumur (pihak laki-laki yang mencari calon isteri).
Manakala sudah ada kepastian tentang siapa orangnya yang akan dijadikan menantu, maka pihak orangtua laki-laki mulai mencoba berhubungan dengan pihak orangtua anak gadis tersebut. Biasanya dimulai dengan cara sering mengunjungi, sering menegur bila ketemu di jalan atau menunjukan sikap tertentu seperti memuji dan sebagainya. Hal demikian sengaja diciptakan agar pihak sigadis mengetahui bahwa orang tersebut ada sesuatu yang diingikannya. Selanjutnya jika kedua pihak telah saling mengetahui, mulailah suatu pembicaraan yang lebih terbuka dan mulailah diadakan persiapan untuk mengadakan hubungan dengan pihak keluarga gadis tersebut. Hal itu disebut Cah Rhot (merintis jalan), yaitu untuk menjajaki kemungkinan dijodohkan anaknya dengan gadis itu dan sekaligus untuk mengetahui ihwal tentang gadis dan keluarganya.
Tugas melakukan Cah Rhot itu biasanya diserahkan kepada seseorang yang disebut Seulangke (perantara) akan tetapi ada juga untuk tugas ini belum diserahkan kepada Seulangke melainkan dengan memperoleh keterangan dari orang-orang yang dekat dengan keluarga sigadis itu. Tugas Seulangke pada langkah selanjutnya adalah. Apabila ternyata si gadis masih bebas (belum ada orang lain yang mengikatnya) dan selanjutnya ternyata ada tanda-tanda bahwa maksud pihak keluarga si pemuda dapat diterima oleh pihak si gadis, maka dikirimlah utusan, yaitu Seulangke tadi untuk menyampaikan maksud dan tujuan daripada orangtua si pemuda, dan sekaligus hal-hal yang menyangkut pertunangan, hari peresmian, dan mengenai mahar (jeunamee) serta menyampaikan pesan atau syarat-syarat yang diajukan oleh masing-masing pihak.
Dalam masyarakat Aceh, pihak orangtua dalam memilih calon jodoh untuk anaknya sering kali diperhatikan calon yang ideal yaitu sekurang-kurangnya perlu memenuhi lima syarat, yaitu:
·           Pertama, adalah anak yang baik perangai, watak dan perilakunya.
·           Kedua, anak yang suka beribadat dan berpengetahuan luas, terutama tentang agama.
·           Ketiga, anak itu memiliki sedikit kecantikan.
·           Keempat, anak itu dari keturunan orang baik-baik, dan
·           Kelima, (sebagai kesempurnaan) dilihat pula status sosial ekonomi orangtua anak gadis itu.

b.      Adat Jak Meulakee atau Peukong Haba
Tahap berikutnya yang akan dilakukan oleh pihak orangtua si pemuda adalah mengadakan peminangan pada pihak si gadis yang disebut Jak Meulakee (pergi meminang) atau Peukong Haba (memperkuat pembicaraan sebelumnya). Acara meminang dilakukan oleh seulangkee bersama dengana kepala kampung dan orang-orang tua atau pemuka masyarakat kampung. Biasanya (dibeberapa daerah) pada acara meminang itu turut serta pula datang kerumah si gadis beberapa perempuan dari keluarga si pemuda (di daerah Aceh Besar biasanya hanya laki-laki saja), dan orangtua si pemuda biasanya tidak ikut serta. Pada kesempatan itu dibawa sirih yang disusun dengan rapi dalam tempatnya yang disebut Batee Ranub (tempat sirih). Selain itu dibawa pula oleh-oleh berupa kain baju, selendang dan kain sarung serta kue-kue adat (peunajoh). Yang penting pada acara peminangan adalah membawa tanda pengikat (tanda kong haba), dan karena itu acara peminangan disebut juga acara intat tanda (membawa tanda).
Biasanya yang menjadi tanda adalah berbentuk sebuah cincin emas seberat satu atau dua mayam (1 mayam = 3,33 gram). Mengenai tanda itu terdapat perjanjian-perjanjian sekiranya pertunangan itu pada suatu ketika putus di tengah jalan. Dalam hal ini berbeda antara adat di satu daerah dengan daerah lainnya. Biasanya, apabila pihak si gadis yang membatalkan pertunangan itu, maka tanda tersebut harus dikembalikan dua kali lipat dari tanda yang diterimanya. Tetapi kalau pihak si pemuda yang membatalkannya maka tanda tersebut di pandang sudah hilang. Dan seandainya lagi bila salah satu pihak meninggal dunia, maka hal tersebut biasanya dirundingkan kembali.
Pada upacara peminangan ditentukan juga beberapa kesepakatan lain, seperti: besarnya mas kawin, hari diadakannya pernikahan, intat linto dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak lanjut dari acara peminangan itu. Biasanya juga diingatkan akan adat yang berlaku sehubungan dengan hubungan antara kedua orang yang sudah bertunangan, misalnya melarang membawa calon isterinya berjalan-jalan karena hal itu dapat menimbukan fitnah.

c.       Meukeurija (Persiapan Pesta Perkawinan)      
Telah menjadi adat yang terpelihara didaerah Aceh, bahwa tiap-tiap peristiwa besar, bahwa tiap-tiap peristiwa besar yang mengenai salah seorang penduduk, termasuk upacara perkawinan diselenggarakan secara gotong royong oleh penduduk dibawah pimpinan kepala kampung. Seminggu sebelum pesta perkawinan dimulai, pihak keluarga mengundang kepala kampung dan pemuka-pemuka masyarakat dalam kampung untuk menyatakan maksud hendak melangsungkan pesta perkawinan anaknya. Semua kegiatan pesta diserahkan kepada kepala kampung atau di Aceh dinamakan Keuchik. Kepada keluarga yang bersangkutan ditanyakan berapa banyak tamu yang akan diundang dan berapa jumlah kaum kerabat sendiri ditambah dengan jiran dan penduduk kampung. Jumlah undangan seluruhnya akan menentukan berapa besar khanduri yang akan diadakan, seperti berapa ekor sapi yang akan disembelih, berapa banyak beras serta lauk-pauk yang diperlukan untuk itu dan sebagainya.
Kepala kampung membentuk panitia yang diperlukan dengan tugasnya masing-masing. Setelah semuannya diatur, maka pada waktu yang telah ditentukan diadakan gotong-royong untuk mendirikan teratak, membuat dapur, tempat pencuci piring, membuat pintu gerbang dan lain-lain. Sedangkan kaum perempuan dipimpin oleh isteri kepala kampung yang juga membentuk kelompok-kelompok yang dianggap perlu, seperti untuk urusan penerimaan tamu, untuk menghias kamar pengantin, juru hidang dan sebagainya.
Untuk pesta perkawinan yang besar biasanya di potong satu atau dua ekor sapi sehari sebelum hari “HA” nya. Daging sapi itu kemudian dipotong kecil-kecil, sebagian diperuntukan kepada kaum ibu untuk membuat beberapa jenis masakan adat, selebihnya dimasak dengan campuran buah nangka atau buah pisang dalam belanga-belanga besar yang sering disebut masakan “Kuah Beulangong”.

d.      Meugatib (Pernikahan atau Ijab Qabul)
Upacara adat meugatib (acara pernikahan atau ijab qabul) merupakan acara wajib dalam rangkaian acara suatu perkawinan, karena hal itu merupakan hukum perkawinan secara islam. Kalau tidak dilaksanakan acara pernikahan berarti belum berlangsung acara perkawinan, sebab acara tersebutlah yang meresmikan kedua orang secara sah menjadi suami isteri.
Meugatib biasanya diadakan dirumah pengantin perempuan, kadang-kadang ada juga di Meunasah atau Mesjid. Pada zaman sekarang ada juga yang di “KUA” (Kantor Urusan Agama). Dalam upacara tersebut dibacakan perjanjian atau akad nikah  antara seorang laki-laki dengan perempuan yang akan menjadi isterinya. Perjanjian tersebut tidak langsung diucapkan dihadapan calon isteri, tetapi dihadapan orang tua atau wali si calon isteri yang disaksikan oleh petugas urusan agama yang mencatatkannya dalam buku nikah. Yang menikahkan biasanya langsung oleh ayah si perempuan atau oleh walinya. Oleh karena sifat dari ucapan akad nikah itu sangat  penting, maka apabila tidak tepat atau tidak benar diucapkan (misalnya karena gugup menjadi lupa atau tersendat-sendat mengucapkannya), si calon linto harus mengulanginya lagi sampai dapat dilakukan dengan lancar dan benar. Setelah selesai akad nikah, biasanya diucapkan syarat taklik, yaitu semacam perjanjian dengan isteri yang telah dinikahinya sehubungan dengan pemberian nafkah dan jatuhnya talak atau cerai. Semua syarat tersebut, sekarang ini telah dicantumkan dalam buku nikah. Setelah diadakan upacara akad nikah yang diakhiri dengan pembacaan do’a, oleh ustad atau tengku yang hadir dalam acara tersebut.

e.       Intat Linto (Mengantar Mempelai Pria)
Intat Linto (upacara mengantar pengantin pria ke rumah pengantin wanita), antara keduanya ada yang berjarak waktu beberapa hari dan ada juga yang berlangsung pada hari bersamaan, malah ada juga yang berselang waktu sampai lebih satu tahun yang disebut dengan nikah gantung, yang artinya si suami belum boleh pulang kerumah isterinya sekalipun mereka secara resmi telah menikah. Sekarang ini nikah gantung sudah tidak dilakukan lagi.
Upacara intat linto biasanya dilakukan setelah pernikahan atau akad nikah berlangsung, dan sering pula bersamaan waktunya. Artinya pada hari intat linto, upacara pernikahan dilakukan setelah calon linto tiba di rumah dara baro yang sekaligus dirayakan dengan pesta perkawinan atau khanduri dengan dihadiri para tamu undangan. Namun, pada masa lampau, para tamu undangan yang datang pada acara khanduri perkawinan itu makan bersama setelah dihidangkan oleh pihak tuan rumah, dimana mereka makan di depan hidangan tersebut, tetapi sekarang sudah banyak dilakukan dengan sistim mengambil sendiri makanan yang telah disediakan, dan mereka dapat duduk di kursi-kursi yang telah disediakan. Biasanya acara intat linto diadakan pada malam hari.
Linto baro diantarkan ke rumah dara baro oleh sejumlah orang yang disebut rombongan linto atau rombongan besan dengan membawa barang-barang pembawaan linto. Linto baro diibarat “raja sehari”, dipakaikan pakaian adat Aceh yang lengkap. Setelah itu  linto duduk bersanding di pelaminan bersama dara baroe, dan selanjutnya dilakukan adat peusijuek yang dilakukan oleh beberpa orang tua, kerabat, sanak family atau tokoh-tokoh terkemuka di kampung tersebut (jumlah orang yang melakukan peusijuk harus ganjil), dimulai oleh family pihak dara baro dan pihak linto. Sewaktu acara peusijuk dilaksanakan juga adat teumetuek, yaitu bersalaman dengan kedua pengantin seraya menggegamkan (geupeureugam) sejumlah uang, oleh setiap orang yang melaksanakan peusijuek.
Setelah adat peusijuk linto dan dara baro, Selanjutnya diadakan jamuan makan kepada rombongan besan dara baro (family dari pihak linto), biasanya makanan yang disediakan lebih istimewa dalam hal lauk-pauknya dibandingkan dengan tamu-tamu yang lain. Setelah selesai acara makan, maka para tamu pihak linto minta izin kembali pulang. Kepada linto baro diperkenankan tinggal bermalam di rumah isterinya.

f.       Tueng Dara Baroe (Menjemput Mempelai Wanita)
Acara tueng dara baro dilakukan segera atau beberapa hari setelah acara intat linto. Pihak linto merasa malu apabila belum menerima kunjungan keluarga dara baro dan demikian pula sebaliknya, keluraga dara baro merasa ada sesuatu yang belum selesai apabila belum berkunjung secara adat ke rumah keluarga linto. Pada acara tueng dara baro diadakan juga khanduri, tetapi biasanya tidak sebesar atau semeriah ketika khanduri intat linto. Dara baro biasanya hanya diantar oleh kaum wanita saja dengan membawa kue-kue adat Aceh ke rumah mertuanya. Pada waktu itu ia dikunjungi oleh family dari pihak suaminya sambil membawa hadiah.

g.      Jak Meuturi (Berkenalan)
Jak meuturi (berkenalan) merupakan adat berkunjung yang dilakukan oleh kedua pasangan pengantin ke rumah family, kedua belah pihak untuk tujuan berkenalan. Dipandang tidak beradat apabila kedua pengantin tidak berkunjung kepada sanak saudaranya, dan biasanya kunjungan itu dilakukan segera setelah acara tueng dara baroe. Ketika kedua pengantin itu berkunjung kepada family, mereka membawa sesuatu berupa kue-kue adat, dan ketika mereka kembali juga mendapat pemberian, biasanya berupa uang dan barang berharga lainnya. Kunjungan kepada family biasanya tidak bermalam, tetapi mereka diberi makan oleh semua family yang dikunjungi itu. Kunjungan jak meuturi itu dipandang penting untuk mempererat tali persaudaraan.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
      Dari uraian makalah diatas, maka kita bisa simpulkan. Dalam adat Aceh, pernikahan merupakan hal yang sangat penting dan sakral. Dan  Adat dan Agama dalam kehidupan masyarakat Aceh tidak bisa di pisahkan seperti hadit maja yang berbunyi “adat ngoen agama lage zat ngoen sifeut”, Adat dan Agama seperti zat dengan sifat atau ruh dan jasad, Begitulah perumpaan orang Aceh.  Ada beberapa tahapan yang harus dilalui mempelai untuk meresmikan sebuah pernikahan, yaitu Adat Cah Rhot, Adat Jak Meulakee, Adat Meukerija, Meugatib, Intat Linto, Tueng Dara Baroe dan Jak Meuturi. Dan semua tahapan tersebut mempunyai makna tersendiri dan diselaraskan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam islam

B.     Saran
      Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan pembaca mengetahui dan mengerti tentang adat pernikahan masyarakat Aceh. kami menyarankan agar rakyat aceh seharusnya melaksanakan adat ini tanpa tertinggal satu pun, karena adat merupakan warisan nenek moyang yang harus tetap dijaga keaslian dan nilai-nilai luhurnya.





DAFTAR PUSTAKA

Darwis A.Soelaiman, Kompilasi Adat Aceh, (Banda Aceh: Pusat Studi Melayu Aceh, PUSMA, 2011).

Rabu, 02 Maret 2016

ASAL-USUL NAMA DAERAH “MEULABOH”


Pada masa Saidil Mukamil menjadi Sultan Aceh (1588-1644) dibangun sebuah Negeri (Nanggroe) disebuah teluk di Pantai Barat Aceh bernama Pasir karam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda negeri ini sangat berkembang dan maju. Banyak berdatangan orang-orang dari Aceh besar, Pidie dan Minagkabau ke daerah ini dan membuka kebun lada (Seuneubok Lada). Orang-orang Minang yang tiba di Pasir Karam mengatakan ketika samapi disitu “disinilah kita berlabuh” yang kemungkinan dari istilah inilah lahir kata “Meulaboh” atau berlabuh.

Rombongan yang datang dari Minangkabau dipimpin oleh tiga orang yaitu: (1). Makhudum Sati, yang berasal dari Rao, Sumatera Barat. Yang kemudian membangun perkebunan lada dan menetap di Meureubo; (2). Datuk Raja Agam dari Agam, Sumatera Barat. Yang tinggal di Rantau Panyang; dan (3). Datuk Songsong Buluh tinggal di Ujung Kala.

Ketiga Negeri yang di tempati oleh pendatang dari Minang tersebut cepat majunya sehingga banyak memperoleh hasil, malahan mereka sudah dapat mengumpulkan emas. Ketiga tokoh ini bersepakat menemui sultan Aceh dan mereka membawa emas sebagai buah tangan. Mereka meminta pengukuhan dari Sultan Aceh terhadap tempat yang mereka diami, dan meminta tiga orang wakil Sultan kesana untuk mengurus: (1). Pengaturan pemerintah dan mengumpulkan upeti; (2). Mengurus perselisihan dan pelanggaran adat; dan (3). Mengurus penyelenggaraan Agama, seperti Nikah, Talak, Rujuk dan Warisan.

Sultan membuat “sarakata” menggunakan Cap Sembilan (Cap Sikureung) yang merupakan surat keputusan tentang kedudukan mereka. Sultan juga menetapakan Datuk Songsong Buluh menjadi koordinator ketiga pemukiman tersebut sebagai Ulebalang Meulaboh. Pada masa Sultan Ibrahim Mansur Syah (1841-1879) Negeri-negeri di pantai Barat Aceh bertambah maju. Akibat perang Padri semakin banyak pula orang dari Sumatera Barat hijrah kesana. Lebih-lebih lagi Minangkabau yang telah dikuasai oleh Belanda mengeluarkan Oktrui dan Kultur Stelsel yang menetapkan penduduk harus menjual hasil bumi meraka hanya kepada Belanda. Selain Belanda yang berdagang di pantai Barat Aceh, juga ikut Inggris yang pusat kegiatannya di Penang, Malaysia.

Pada masa itu sesuai dengan tuntunan keadaan dibentuk Pemerintah seperti  di Pidie yaitu Federasi Negeri-negeri sebnayak 16 buah. Timbulnya Kaway XVI dari: Meulaboh, Ujungkala, Seunagan, Tripa, Woyla, Peureumbeu, Gunong Meuh, Rantau Panyang, Meureubo, Reudeup, Bubon, Mugoh, Tadu, Gomeh, dan Seuneu’am.   






Referensi:
H.M. Thamrin Z, Edy Mulyana, Pantai Barat Aceh di Panggung Sejarah, Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2009. hal 35